Minggu, 14 Oktober 2012

Marianne Vorthoren: Identitas Belanda dan Muslim tidak saling menafikan

Marianne Vorthoren
Rotterdam, Belanda - Beberapa tahun lalu, saya berbincang dengan dua gadis cilik Muslim yang berusia sekitar 6 atau 7 tahun di sebuah masjid di Rotterdam. Mereka bertanya kepada saya dalam bahasa Belanda yang fasih, apakah saya orang Turki. Saya jelaskan kalau saya orang Belanda yang sebetulnya telah masuk Islam. Dalam percakapan kami, salah satu dari mereka pun mengatakan, "Kembali ke saat Anda masih menjadi orang Belanda ..."

Pernyataan polos ini mengungkap suatu kenyataan yang menyedihkan: anak-anak kecil ini, yang lahir dan dibesarkan di Belanda, sudah "terprogram" untuk berpikir kalau orang-orang tidaklah bisa menjadi orang Belanda sekaligus Muslim.

Banyak anak muda Muslim yang dilahirkan dan dibesarkan di Belanda merasa terasing dan tak diterima dengan baik di masyarakat, yang tergambar dari obrolan seperti ini. Perasaan ini bisa membuahkan stereotip, dan ketakterhubungan antara Muslim dan non-Muslim. Kendati begitu, melalui kerja saya sebagai direktur Wadah Organisasi-Organisasi Islam Rijnmond (SPIOR) – satu-satunya organisasi payung Muslim di Belanda, yang terdiri atas masjid-masjid dan organisasi-organisasi Muslim akar rumput di daerah sekitar Rotterdam – saya optimis akan pengaruh kian banyaknya orang yang mencari hubungan positif dan titik temu.

Seperti halnya bagi banyak Muslim di Barat, peristiwa 11 September menjadi titik balik bagi Muslim di Belanda. Orang-orang yang sebelum 11 September dianggap sebagai pekerja asing, migran atau minoritas etnis tiba-tiba diidentifikasi sebagai Muslim.

Namun, tidak ada yang namanya komunitas Muslim Belanda yang monolitik. Muslim di Belanda terdiri atas banyak komunitas beragam dan tidak terorganisir di bawah suatu institusi keagamaan khusus. Dari sekitar 16 juta penduduk Belanda, sekitar 900.000 warga Belanda adalah Muslim, yang asal-usulnya dari Indonesia, Suriname, Turki, Maroko dan lebih belakangan Bosnia, Somalia, Afghanistan, Irak, dan negara-negara lain.

Masalah-masalah sosial, seperti kurang lancar berbahasa Belanda, tingginya angka putus sekolah, tingginya tingkat pengangguran dan kriminal, serta rendahnya tingkat partisipasi politik masih sering diasosiasikan dengan "Muslim". Karena masalah-masalah ini dikaitkan dengan penduduk yang umumnya Muslim, banyak orang Belanda melihatnya sebagai bagian intrinsik dari Islam dan memandang bahwa menjadi Belanda dan Muslim tidaklah bisa sejalan.

Untuk menunjukkan bahwa identitas Belanda dan Muslim bisa berjalan bersama, SPIOR membahas tiga masalah relevan – ketakterhubungan antara Muslim dan non-Muslim, persepsi tentang Islam dan masalah-masalah nyata di dalam masyarakat.

Kami mengumpulkan orang-orang yang tidak biasanya bertemu, baik Muslim maupun non-Muslim, untuk bicara tentang masalah-masalah masyarakat bersama. Perbincangannya bisa berkisar pada perlunya jalan-jalan yang bersih, pendidikan anak-anak atau pengurusan keluarga yang sudah lanjut usia. Percakapan-percakapan ini belum tentu menyinggung agama, dan bahkan sering kali tidak. Kami fokus pada masalah-masalah bersama, meningkatkan pengertian dan respek atas perbedaan, dan menemukan solusi-solusi bersama.

Bagian lain dari misi kami adalah menangani masalah-masalah yang sekarang ada dalam komunitas Muslim. Meskipun masalah-masalah ini tidak hanya menimpa komunitas Muslim ataupun disebabkan oleh Islam, kami pikir penting untuk bersikap kritis pada diri sendiri dan menangani masalah-masalah nyata.

Misalnya, kami tidak bisa menekankan bahwa Islam sebenarnya mendukung hak-hak perempuan, bila dalam kenyataannya sebagian anak perempuan masih dipaksa untuk menikah atau dibesarkan secara sangat berbeda dari anak laki-laki.

Bila menyangkut penanganan masalah-masalah ini, kami menggunakan perspektif Islam untuk menekankan pesan inti. Misalnya, kawin paksa jelas dilarang dalam Islam.

Kami telah menangani masalah ini selama delapan tahun melalui kampanye kami "Gandengkan tangan melawan kawin paksa". Dari sekian laporan tentang kekerasan dan konflik keluarga yang diterima setiap tahunnya oleh Unit Pendukung Kekerasan Rumah Tangga di Dinas Kesehatan Daerah Rijnmond (kawasan sekitar kota Rotterdam), sekitar 50-nya adalah laporan tentang kawin paksa atau konflik terkait pilihan jodoh, dan ada pula kasus-kasus yang tak dilaporkan.

Melalui kampanye ini, kami mengemukakan bahwa masalah ini berdampak pada pemuda, baik laki-laki dan perempuan. Kami menghimpun ratusan anak muda, orang tua, ustadz dan cendekiawan agar mereka bisa memahami ajaran-ajaran Islam tentang masalah ini – yang kami dapati merupakan sebuah cara efektif untuk mengubah pola pikir orang. Kami juga menekankan bahwa hukum Belanda dan hukum HAM internasional mendukung hak memilih jodoh.

Kepercayaan amatlah penting dalam upaya ini dan memang merupakan andalan utama kami. Dengan memanfaatkan hubungan kami dengan organisasi-organisasi Muslim, kami bisa melibatkan lebih banyak lagi orang. Melalui kampanye ini, kami juga memperlihatkan bahwa nilai-nilai inti yang dianut oleh banyak orang Belanda – kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, penghormatan terhadap hak-hak perempuan, otonomi pribadi dan kebebasan memilih – adalah juga bagian dari tradisi Islam.

"Tidak cuma kata-kata, tapi juga aksi," merupakan moto populer kota Rotterdam. Melalui kampanye semacam itu, kami menggunakan aksi-aksi nyata untuk menunjukkan baik kepada Muslim maupun non-Muslim bahwa menjadi Muslim sekaligus menjadi orang Belanda bisa berjalan dengan sangat baik.

###

* Marianne Vorthoren adalah Direktur SPIOR, organisasi payung bagi lebih dari 60 masjid dan organisasi-organisasi Muslim akar rumput di Rotterdam, Belanda. Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews).

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya:
1. Gunakan bahasa yang sopan dan tidak menyinggung
2. Jangan pakai link aktif/ spam
3. Iklan boleh, tapi 1 kali saja :)