"Kisah nyata ini diambil dari pengalaman seorang muslimah di artikelmuslimah.wordpress.com"
Shoot me Ukhti.. |
Siang itu saya dan suami berada di Burgeramt (Balaikota). Suasana terasa hening sekalipun ada banyak orang di dalam gedung tempat segala sesuatu yang berurusan dengan administrasi kependudukan di Jerman tersebut. Sebagian orang mengantri di loket pengambilan kartu, sebagian lainnya duduk mengisi formulir dan sebagian lagi menunggu giliran nomornya dipanggil. Sambil menanti giliran, saya pun asyik membaca sebuah majalah khusus muslimah yang dibawakan teman dari Indonesia.
Tiba-tiba sebuah salam yang terucap membuat saya menoleh ke sumber suara. Seorang berparas jelita di sebelah kursi saya menyapa dengan senyum. Entschuldigung, woher komen Sie?”, sesaat kemudian ia menanyakan asal saya. “Ich kome aus Indonesien”, jawab saya sambil menutup majalah yang sedang saya baca tadi. “Ach so…, Ich kome aus der Turkei, Ich bin Gulsum, und Sie? Ia lalu menyebutkan asal negara dan nama dirinya sambil mengulurkan tangan. Saya pun menyebutkan nama seraya menyambut jabat tangannya.
Gulsum kemudian meminta ijin melihat majalah yang sedang saya baca. Ia tertarik karena hampir semua lembar majalah tersebut berhias muslimah berjilbab. Terlihat ia menggumam dan bertanya, “Ich habe gehoert viele leute in Indonesien sind muslime, oder?” (saya dengar di Indonesia banyak muslimnya ya?). Saya mengangguk, membenarkan apa yang ditanyakannya. Lalu ia bertanya lagi, “Tragen alle muslime Frauen das Koepftuch?”(apakah semua muslimah di Indonesia mengenakan jilbab). Saya kembali menjawab, “Nicht alle, aber vielle tragen das.” (belum semuanya, tapi saat ini sudah sangat banyak yang memakai jilbab). Sesaat kemudian ia bertanya lagi, “Koennen die das Tuch in der Universitaet tragen?” (Apakah ke universitas, diperbolehkan memakainya?). Sejenak saya tatap wajahnya untuk kemudian menjawab rasa penasaran dirinya, “Ja, alhamdulillah, wir sind frei das Tuch irgendwo zu tragen.” (Ya, Alhamdulillah, kami bebas mengenakannya ke mana pun)”, ujar saya.
Raut muka Gulsum tampak gembira mendengar jawaban saya, terlihat bibirnya bergerak turut mengucap hamdallah. Namun sesaat setelah itu saya melihat sorot matanya terlihat murung, ia terpekur sambil memandangi lembar demi lembar majalah muslimah itu. Lalu kembali mendongakkan wajahnya dan berkata pada saya, “Es ist sehr froehlich dass indonesische Frauen in der Uni das Kopftuch tragen kann. Wir koennen das nicht tun trotz fast alle leute sind muslime im unseren Land.” (bahagianya menjadi muslimah Indonesia, dapat menggunakan jilbab kemana pun termasuk ke kampus. Sementara kami tidak dapat demikian walaupun mayoritas penduduk negeri kami muslim).
Saya terdiam sesaat turut merasakan kesedihan hati Gulsum untuk kemudian saya mencoba menghibur dan mendoakannya bahwa kerinduan ia beserta muslimah Turki lainnya untuk dapat melaksanakan kewajiban menutup aurat di negerinya, suatu saat nanti pasti terwujud.
***
Gulsum kembali menekuri majalah muslimah tersebut, sementara itu saya terpaku pada kata-kata yang dilontarkannya tadi, bahwa alangkah bahagianya menjadi muslimah Indonesia.
Ya, sudah semestinya kami bahagia dengan kondisi kami saat ini. Atas pertolongan Allah dan perjuangan para aktivis dakwah yang tak kenal lelah dalam mensyiarkan Islam di bumi pertiwi, maka kini kami dapat mereguk buah perjuangan mereka, menikmati iklim kebebasan melaksanakan perintah agama di tanah air yang kini memayungi para muslimahnya. Kami leluasa untuk menutup lekuk lekuk tubuh kami dengan busana yang syar’i demikian pula dengan rambut kami.
Hampir di segala sektor pekerjaan, para muslimah di tanah air kini dapat berpartisipasi dengan tetap berbusana sesuai syar’i. Sudah sepatutnya pula kami bersyukur padaNya atas segala kemudahan ini, hal yang mana masih menjadi dambaan para muslimah di belahan bumi lainnya. Tentunya rasa syukur ini harus kami wujudkan dengan berusaha sebaik mungkin menjaga ahlak dan menutup aurat kami sesuai syar’i.
Ya, kami memang bahagia, sesuatu yang tak mungkin kami pungkiri. Tapi tahukah engkau Gulsum, bahwa kami pun pernah merasakan gundah seperti yang kamu rasakan? Bisik hati saya sambil melirik Gulsum yang masik membolak-balik majalah tersebut. Pikiran saya menerawang ke masa ketika para muslimah di Indonesia mengalami kesulitan menjalankan perintah menutup auratnya.
Teringat ketika saya masih duduk di sekolah dasar, hanya satu orang yang mengenakan jilbab yaitu guru yang mengajar agama, itu pun rambut bagian depannya dibiarkan menyembul dan lehernya dibiarkan bebas terlihat. Pakaian seragam bagian atas ibu guru tersebut hanya sampai ke siku lengan demikian pula roknya, hanya sampai lutut. Entahlah mengapa demikian cara ia berbusana, mungkin saat itu seperti halnya di Turki, benar-benar sulit bagi muslimah Indonesia untuk dapat melaksanakan kewajibannya menutup aurat sesuai syar’i.
Menginjak bangku sekolah menengah pertama, saya melihat hanya dua orang yang berjilbab di sekolah tersebut, yakni ibu guru agama dan seorang guru lainnya yang sudah menunaikan ibadah haji. Ibu guru agama saat itu telah menutup aurat sesuai syar’i. Saat mengisi pelajaran di kelas kami, beliau terkadang bercerita bahwa dirinya sering diejek bahkan dilempari batu karena ia berbusana demikian, terlebih lagi ketika marak issue di daerah kami tentang makanan yang diracun muslimah berjilbab. Tapi, walaupun hampir setiap hari beliau mendapat perlakuan yang tidak baik sepanjang jalan menuju atau pulang dari tempatnya mengajar, ia tetap istiqamah menggunakan jilbab. Ketegaran beliau membuat saya kagum padanya.
Saat saya mulai duduk di sekolah menengah atas, dengan berbekal niat karena Allah dan ucapan basmallah, saya akhirnya mengikuti jejak ibu guru agama SMP itu. Ibunda saya sangat khawatir karenanya dan meminta saya untuk menunda niat melaksanakan kewajiban menutup aurat tersebut. Saya memahami kekhawatiran beliau karena pada saat itu keadaan memang belum kondusif bagi muslimah untuk berjilbab.
Terlebih lagi ketika mencari pekerjaan, pada umumnya setiap lowongan yang ada mensyaratkan untuk tidak berjilbab. Namun, saya tetap berusaha meyakinkan beliau dengan mengatakan bahwa di kelas saya tidak sendirian karena ada tiga teman lainnya yang mengenakan jilbab dan masih ada beberapa orang lagi di kelas lainnya. Untuk lebih meyakinkan beliau, maka saya pun bisikkan padanya bahwa ibunda tak perlu khawatir karena Allah akan menjaga siapa pun yang berusaha menjaga agamanya. Ibunda akhirnya mengijinkan sekalipun dengan hati yang gamang, diantara derai air matanya ia mendoakan saya untuk istiqamah dengan putusan yang saya ambil. Saya bersyukur karenanya, di saat banyak orangtua melarang putrinya berjilbab.
Menjelang memasuki dunia kampus saat pendaftaran calon mahasiswa, kami diminta untuk berfoto tanpa jilbab dengan alasan untuk kepentingan identifikasi. Saat itu saya menyaksikan beberapa mahasiswa senior berjuang untuk kami, melakukan negosiasi dengan pihak kampus agar kami tetap diperbolehkan mengenakan jilbab. Sebagian dari mereka, para mahasiswi senior berjilbab itu berkeliling menghampiri kami untuk menguatkan mental kami agar tetap teguh untuk tidak melepas jilbab saat sesi pemotretan.
Belakang hari saya mulai mengetahui mereka yang memperjuangkan kami itu adalah para penggerak dakwah di kampus. Merekalah yang selama ini berjuang agar tak ada kendala lagi bagi para muslimah untuk berjilbab termasuk dalam urusan administrasi. Atas sepak terjang mereka pula, perlahan Islam mewarnai kampus kami.
***
Kini, saat membaca berita tentang kabar baik untuk muslimah di Turki, saya merasa sangat bahagia. Teringat kembali pertemuan dengan Gulsum di Burgeramt siang itu. Saat ini saya berharap Gulsum dan muslimah Turki lainnya sedang sujud syukur dan tersenyum bahagia. Kerinduan mereka untuk dapat menutupi aurat bukan lagi sebuah impian, tapi benar-benar mewujud.
Gulsum, ingin sekali kukatakan padamu bahwa tak hanya muslimah Indonesia yang berbahagia dengan iklim kebebasan menjalankan syariat Islam, tapi engkau dan muslimah Turki lainnya saat ini akan merasakan pula kebahagiaan itu di negerimu sendiri.
Ineu Ratna Utami
Tiba-tiba sebuah salam yang terucap membuat saya menoleh ke sumber suara. Seorang berparas jelita di sebelah kursi saya menyapa dengan senyum. Entschuldigung, woher komen Sie?”, sesaat kemudian ia menanyakan asal saya. “Ich kome aus Indonesien”, jawab saya sambil menutup majalah yang sedang saya baca tadi. “Ach so…, Ich kome aus der Turkei, Ich bin Gulsum, und Sie? Ia lalu menyebutkan asal negara dan nama dirinya sambil mengulurkan tangan. Saya pun menyebutkan nama seraya menyambut jabat tangannya.
Gulsum kemudian meminta ijin melihat majalah yang sedang saya baca. Ia tertarik karena hampir semua lembar majalah tersebut berhias muslimah berjilbab. Terlihat ia menggumam dan bertanya, “Ich habe gehoert viele leute in Indonesien sind muslime, oder?” (saya dengar di Indonesia banyak muslimnya ya?). Saya mengangguk, membenarkan apa yang ditanyakannya. Lalu ia bertanya lagi, “Tragen alle muslime Frauen das Koepftuch?”(apakah semua muslimah di Indonesia mengenakan jilbab). Saya kembali menjawab, “Nicht alle, aber vielle tragen das.” (belum semuanya, tapi saat ini sudah sangat banyak yang memakai jilbab). Sesaat kemudian ia bertanya lagi, “Koennen die das Tuch in der Universitaet tragen?” (Apakah ke universitas, diperbolehkan memakainya?). Sejenak saya tatap wajahnya untuk kemudian menjawab rasa penasaran dirinya, “Ja, alhamdulillah, wir sind frei das Tuch irgendwo zu tragen.” (Ya, Alhamdulillah, kami bebas mengenakannya ke mana pun)”, ujar saya.
Raut muka Gulsum tampak gembira mendengar jawaban saya, terlihat bibirnya bergerak turut mengucap hamdallah. Namun sesaat setelah itu saya melihat sorot matanya terlihat murung, ia terpekur sambil memandangi lembar demi lembar majalah muslimah itu. Lalu kembali mendongakkan wajahnya dan berkata pada saya, “Es ist sehr froehlich dass indonesische Frauen in der Uni das Kopftuch tragen kann. Wir koennen das nicht tun trotz fast alle leute sind muslime im unseren Land.” (bahagianya menjadi muslimah Indonesia, dapat menggunakan jilbab kemana pun termasuk ke kampus. Sementara kami tidak dapat demikian walaupun mayoritas penduduk negeri kami muslim).
Saya terdiam sesaat turut merasakan kesedihan hati Gulsum untuk kemudian saya mencoba menghibur dan mendoakannya bahwa kerinduan ia beserta muslimah Turki lainnya untuk dapat melaksanakan kewajiban menutup aurat di negerinya, suatu saat nanti pasti terwujud.
***
Gulsum kembali menekuri majalah muslimah tersebut, sementara itu saya terpaku pada kata-kata yang dilontarkannya tadi, bahwa alangkah bahagianya menjadi muslimah Indonesia.
Ya, sudah semestinya kami bahagia dengan kondisi kami saat ini. Atas pertolongan Allah dan perjuangan para aktivis dakwah yang tak kenal lelah dalam mensyiarkan Islam di bumi pertiwi, maka kini kami dapat mereguk buah perjuangan mereka, menikmati iklim kebebasan melaksanakan perintah agama di tanah air yang kini memayungi para muslimahnya. Kami leluasa untuk menutup lekuk lekuk tubuh kami dengan busana yang syar’i demikian pula dengan rambut kami.
Hampir di segala sektor pekerjaan, para muslimah di tanah air kini dapat berpartisipasi dengan tetap berbusana sesuai syar’i. Sudah sepatutnya pula kami bersyukur padaNya atas segala kemudahan ini, hal yang mana masih menjadi dambaan para muslimah di belahan bumi lainnya. Tentunya rasa syukur ini harus kami wujudkan dengan berusaha sebaik mungkin menjaga ahlak dan menutup aurat kami sesuai syar’i.
Ya, kami memang bahagia, sesuatu yang tak mungkin kami pungkiri. Tapi tahukah engkau Gulsum, bahwa kami pun pernah merasakan gundah seperti yang kamu rasakan? Bisik hati saya sambil melirik Gulsum yang masik membolak-balik majalah tersebut. Pikiran saya menerawang ke masa ketika para muslimah di Indonesia mengalami kesulitan menjalankan perintah menutup auratnya.
Teringat ketika saya masih duduk di sekolah dasar, hanya satu orang yang mengenakan jilbab yaitu guru yang mengajar agama, itu pun rambut bagian depannya dibiarkan menyembul dan lehernya dibiarkan bebas terlihat. Pakaian seragam bagian atas ibu guru tersebut hanya sampai ke siku lengan demikian pula roknya, hanya sampai lutut. Entahlah mengapa demikian cara ia berbusana, mungkin saat itu seperti halnya di Turki, benar-benar sulit bagi muslimah Indonesia untuk dapat melaksanakan kewajibannya menutup aurat sesuai syar’i.
Menginjak bangku sekolah menengah pertama, saya melihat hanya dua orang yang berjilbab di sekolah tersebut, yakni ibu guru agama dan seorang guru lainnya yang sudah menunaikan ibadah haji. Ibu guru agama saat itu telah menutup aurat sesuai syar’i. Saat mengisi pelajaran di kelas kami, beliau terkadang bercerita bahwa dirinya sering diejek bahkan dilempari batu karena ia berbusana demikian, terlebih lagi ketika marak issue di daerah kami tentang makanan yang diracun muslimah berjilbab. Tapi, walaupun hampir setiap hari beliau mendapat perlakuan yang tidak baik sepanjang jalan menuju atau pulang dari tempatnya mengajar, ia tetap istiqamah menggunakan jilbab. Ketegaran beliau membuat saya kagum padanya.
Saat saya mulai duduk di sekolah menengah atas, dengan berbekal niat karena Allah dan ucapan basmallah, saya akhirnya mengikuti jejak ibu guru agama SMP itu. Ibunda saya sangat khawatir karenanya dan meminta saya untuk menunda niat melaksanakan kewajiban menutup aurat tersebut. Saya memahami kekhawatiran beliau karena pada saat itu keadaan memang belum kondusif bagi muslimah untuk berjilbab.
Terlebih lagi ketika mencari pekerjaan, pada umumnya setiap lowongan yang ada mensyaratkan untuk tidak berjilbab. Namun, saya tetap berusaha meyakinkan beliau dengan mengatakan bahwa di kelas saya tidak sendirian karena ada tiga teman lainnya yang mengenakan jilbab dan masih ada beberapa orang lagi di kelas lainnya. Untuk lebih meyakinkan beliau, maka saya pun bisikkan padanya bahwa ibunda tak perlu khawatir karena Allah akan menjaga siapa pun yang berusaha menjaga agamanya. Ibunda akhirnya mengijinkan sekalipun dengan hati yang gamang, diantara derai air matanya ia mendoakan saya untuk istiqamah dengan putusan yang saya ambil. Saya bersyukur karenanya, di saat banyak orangtua melarang putrinya berjilbab.
Menjelang memasuki dunia kampus saat pendaftaran calon mahasiswa, kami diminta untuk berfoto tanpa jilbab dengan alasan untuk kepentingan identifikasi. Saat itu saya menyaksikan beberapa mahasiswa senior berjuang untuk kami, melakukan negosiasi dengan pihak kampus agar kami tetap diperbolehkan mengenakan jilbab. Sebagian dari mereka, para mahasiswi senior berjilbab itu berkeliling menghampiri kami untuk menguatkan mental kami agar tetap teguh untuk tidak melepas jilbab saat sesi pemotretan.
Belakang hari saya mulai mengetahui mereka yang memperjuangkan kami itu adalah para penggerak dakwah di kampus. Merekalah yang selama ini berjuang agar tak ada kendala lagi bagi para muslimah untuk berjilbab termasuk dalam urusan administrasi. Atas sepak terjang mereka pula, perlahan Islam mewarnai kampus kami.
***
Kini, saat membaca berita tentang kabar baik untuk muslimah di Turki, saya merasa sangat bahagia. Teringat kembali pertemuan dengan Gulsum di Burgeramt siang itu. Saat ini saya berharap Gulsum dan muslimah Turki lainnya sedang sujud syukur dan tersenyum bahagia. Kerinduan mereka untuk dapat menutupi aurat bukan lagi sebuah impian, tapi benar-benar mewujud.
Gulsum, ingin sekali kukatakan padamu bahwa tak hanya muslimah Indonesia yang berbahagia dengan iklim kebebasan menjalankan syariat Islam, tapi engkau dan muslimah Turki lainnya saat ini akan merasakan pula kebahagiaan itu di negerimu sendiri.
Ineu Ratna Utami
Sumber :
Itu kapan dan didaerah mana ya? padahal didaerahku sejak zaman Belanda sampai kini gak ada yg melarang pakai jilbab
BalasHapusJerman, di negara lain banyak sekali yang melarang penggunaan jilbab, sampai ada yg keluar dari sekolah..
HapusBukan itu yg dimaksud tp Indonesia daerah mana dan kapan? cek kalimat:Pikiran saya menerawang ke masa ketika para muslimah di Indonesia mengalami kesulitan menjalankan perintah menutup auratnya
BalasHapusOh itu saya kurang tahu, coba kamu tanyakan sumbernya, selalu saya kasih dibawah...
HapusAlhamdulillah bahagianya menjadi muslimah indonesia namun sgt disayangkan di Indonesia sampai saat ini pun masih ada beberapa sekolah yang melarang muslimah untuk berfoto mengenakan jilbab tepatnya di daerah terpencil pulau jawa...
BalasHapusBenar juga ukhti, mungkin itu tergantung sekolahnya.. saya pas smp dulu ya gitu.. yg cewek harus lepas jilbab pas foto UN & ijazah
Hapusiya ukh, saya baru lulus sma tahun kemarin dan saat foto UN & Ijazah hrs lepas kerdung dgn iming2 kalau nanti akan bermasalah ketika msk perguruan tinggi dan kalau bermasalah saya hrs urus sendiri ke ibu kota. tp ketika saya tanya teman saya yg berada di sma negeri jakarta mereka diperbolehkan untuk mengenakan jilbab. dan akhirnya saya memutuskan u/ foto berkerudung dan siap menerima resikonya. Alhamdulillah sampai saat ini pun saya tdk mendapatkan kendala apapun :)
HapusAlhamdulillah kalau gitu.. yg penting taat dan istiqomah dalam berkerudung.. ^^
Hapusoh iya saya laki2, komen di atas maksudnya teman2 perempuan saya pas smp ^^